Masih ingatkah dengan visi Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) HM Sani yang ingin mewujudkan Kepri sebagai Bunda Tanah Melayu yang sejahtera, berakhlak mulia dan ramah lingkungan? Dalam rangkaian kata dalam visi tersebut terdapat kata 'ramah lingkungan' yang dijadikan salah satu prioritas gubernur dalam membangun Kepri kurun waktu 2010-2015 ini.
Ditempatkannya kata 'ramah lingkungan' ke dalam sebuah visi tentunya menjadi sebuah keistimewaan. Ini berarti Kepri sejatinya harus mulai mengembangkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sehingga tak heran jika Gubernur Kepri mengimbau setiap SKPD di semua kabupaten/kota se-Kepri untuk menanam pohon mangrove ketika beliau sedang dalam acara penanaman 20 ribu bibit pohon mangrove di lahan konservasi di wilayah dompak (9/5).
Sempena dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang jatuh pada 5 Juni, penulis bersama sejumlah mahasiswa pecinta alam dan nelayan di Batam ingin membantu terwujudnya visi 'Ramah Lingkungan' Kepri dengan mengadakan penanaman bibit mangrove di kawasan Barelang.
Tak bisa dipungkiri, munculnya semangat menanam mangrove ini di kalangan mahasiswa dan nelayan ini adalah karena rasa prihatin yang lahir ketika melihat kondisi bakau di pulau Batam yang sudah mencapai pada titik mengkhawatirkan. Berdasarkan penunjukan Menteri Kehutanan Nomor 47/kpts-II/1987 tanggal 24 Februari 1987, kawasan hutan lindung di Kota Batam seluas 23.430 hektar, dengan rincian luasan, hutan suaka alam dan hutan wisata seluas 4.933 hektar, hutan lindung 13.643 hektar, hutan lindung pantai (mangrove) 4.854 hektar. Dan setelah bergabungnya Rempang Galang dengan Kota Batam, luas kawasan hutan Mangrove menjadi 25 ribu hektar.
Jika luas pulau Batam berdasarkan RTRW kota Batam 2004-2014 saja mencapai 3.900 km2 atau 390.000 Hektare, dengan komposisi luas wilayah darat 1.040 Km2 dan luas wilayah laut 2.950 Km2, maka idealnya luas wilayah hutan mangrove di kota Batam sebesar 24,04 % dari luas wilayah darat kota Batam. Sedangkan menurut data Asosiasi Pecinta Lingkungan (apung) Kepri, pada 1990 Batam memiliki luas hutan mangrove mencapai 19,9%, sedangkan pada akhir 2005 hutan bakau menjadi 6,7% dan diperkirakan saat ini sudah semakin berkurang lagi.
Terus berkurangnya jumlah mangrove ini tak lepas dari perambahan masyarakat maupun kepentingan dunia industrI. Sangat disayangkan juga ternyata realita dilapangan menyebutkan bahwa pengrusakan mangrove yang terus terjadi tidak sebanding dengan rehabilitasi hutan mangrove saaat ini.
Besarnya visi Batam yang diantaranya adalah menjadikan Batam sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional menuntut Batam untuk terus mencari investor yang ingin berinvestasi di Batam. Jika kita berbicara tentang investasi maka ketersediaan lahan telah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan. Sehingga tak heran jika muncul permasalahan terkait tata ruang yang berakibat pengrusakan hutan di kota Batam termasuk hutan mangrove. Pengrusakan ini memang menjadi hal yang sangat disayangkan ketika tidak diiringi sikap bertanggung jawab dari perusaknya, padahal hutan memiliki fungsi yang cukup banyak dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Melestarikan Hutan Mangrove Batam
Banyaknya manfaat tersebut dimiliki juga oleh hutan mangrove, seperti melindungi pesisir pantai dari abrasi air laut, menyerap polusi udara (Co2), penghasil udara segar yang sehat (O2) dan tempat berkembang biaknya biota laut/sungai.
Semakin maraknya aksi pengrusakan hutan mangrove bisa jadi dikarenakan kurangnya pemahaman pihak terkait terhadap besarnya fungsi hutan mangrove terhadap lingkungan disekitarnya. Kalau pun bukan karena alasan kurangnya pemahaman, sudah tentu aksi pengrusakan tersebut terjadi karena pihak terkait telah menjadikan faktor ekonomi diatas segala-galanya.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin memaparkan besarnya manfaat dan fungsi yang dimiliki hutan mangrove. Secara umum fungsi mangrove ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu fungsi mangrove secara fisik, secara biologi dan secara ekonomi.
Secara fisik, mangrove berperan sangat penting dalam menjaga garis pantai dari abrasi, dan mampu meredam angin badai serta gelombang arus laut. Selain itu, ia juga dapat mempercepat pembentukan lahan baru dan mendaur ulang unsur-unsur hara penting. Bahkan tak jarang mangrove dijadikan ikan-ikan tertentu sebagai daerah perlindungan (spawning ground) dari ikan predator ataupun tempat ikan memisahkan maupun membesarkan anaknya.
Secara Biologi, fungsi lain dari hutan mangrove adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup di sekitar mangrove. Hal ini dikarenakan mangrove memiliki kemampuan untuk mendaur zat hara dari daun maupun rantingnya. Ia merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detrius dari proses pembusukan daun atau rantingnya. Sejumlah besar detrius inilah yang menjadikan mangrove juga sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi biota-biota yang hidup di sekitar mangrove.
Sedangkan secara ekonomi, banyaknya fungsi mangrove tersebut mendatangkan keuntungan tersendiri bagi orang-orang terutama nelayan yang hidup di sekitarnya. Terlepas dari manfaat kayunya yang mampu dijadikan arang, mangrove memiliki manfaat yang lebih tinggi lagi bagi para nelayan. Keberadaannya sebagai daerah perlindungan (spawning ground) bagi ikan-ikan dapat dimanfaatkan sebagai lahan mencari ikan oleh nelayan.
Selain itu mangrove juga mampu difungsikan sebagai penyediaan benih bagi industri perikanan. Dan dengan pesona yang dimilikinya, tak jarang mangrove juga dapat disulap menjadi kawasan pariwisita berbasis lingkungan yang tak hanya kan memberikan penghasilan lebih kepada masyarakat di sekitar mangrove, namun juga kepada daerah.
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa 'Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” hal ini berarti kekayaan alam di negeri ini memiliki status dilindungi dan pemanfaatannya dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan kepentingan generasi mendatang.
Sempena dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang jatuh pada 5 Juni, penulis bersama sejumlah mahasiswa pecinta alam dan nelayan di Batam ingin membantu terwujudnya visi 'Ramah Lingkungan' Kepri dengan mengadakan penanaman bibit mangrove di kawasan Barelang.
Tak bisa dipungkiri, munculnya semangat menanam mangrove ini di kalangan mahasiswa dan nelayan ini adalah karena rasa prihatin yang lahir ketika melihat kondisi bakau di pulau Batam yang sudah mencapai pada titik mengkhawatirkan. Berdasarkan penunjukan Menteri Kehutanan Nomor 47/kpts-II/1987 tanggal 24 Februari 1987, kawasan hutan lindung di Kota Batam seluas 23.430 hektar, dengan rincian luasan, hutan suaka alam dan hutan wisata seluas 4.933 hektar, hutan lindung 13.643 hektar, hutan lindung pantai (mangrove) 4.854 hektar. Dan setelah bergabungnya Rempang Galang dengan Kota Batam, luas kawasan hutan Mangrove menjadi 25 ribu hektar.
Jika luas pulau Batam berdasarkan RTRW kota Batam 2004-2014 saja mencapai 3.900 km2 atau 390.000 Hektare, dengan komposisi luas wilayah darat 1.040 Km2 dan luas wilayah laut 2.950 Km2, maka idealnya luas wilayah hutan mangrove di kota Batam sebesar 24,04 % dari luas wilayah darat kota Batam. Sedangkan menurut data Asosiasi Pecinta Lingkungan (apung) Kepri, pada 1990 Batam memiliki luas hutan mangrove mencapai 19,9%, sedangkan pada akhir 2005 hutan bakau menjadi 6,7% dan diperkirakan saat ini sudah semakin berkurang lagi.
Terus berkurangnya jumlah mangrove ini tak lepas dari perambahan masyarakat maupun kepentingan dunia industrI. Sangat disayangkan juga ternyata realita dilapangan menyebutkan bahwa pengrusakan mangrove yang terus terjadi tidak sebanding dengan rehabilitasi hutan mangrove saaat ini.
Besarnya visi Batam yang diantaranya adalah menjadikan Batam sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional menuntut Batam untuk terus mencari investor yang ingin berinvestasi di Batam. Jika kita berbicara tentang investasi maka ketersediaan lahan telah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan. Sehingga tak heran jika muncul permasalahan terkait tata ruang yang berakibat pengrusakan hutan di kota Batam termasuk hutan mangrove. Pengrusakan ini memang menjadi hal yang sangat disayangkan ketika tidak diiringi sikap bertanggung jawab dari perusaknya, padahal hutan memiliki fungsi yang cukup banyak dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Melestarikan Hutan Mangrove Batam
Banyaknya manfaat tersebut dimiliki juga oleh hutan mangrove, seperti melindungi pesisir pantai dari abrasi air laut, menyerap polusi udara (Co2), penghasil udara segar yang sehat (O2) dan tempat berkembang biaknya biota laut/sungai.
Semakin maraknya aksi pengrusakan hutan mangrove bisa jadi dikarenakan kurangnya pemahaman pihak terkait terhadap besarnya fungsi hutan mangrove terhadap lingkungan disekitarnya. Kalau pun bukan karena alasan kurangnya pemahaman, sudah tentu aksi pengrusakan tersebut terjadi karena pihak terkait telah menjadikan faktor ekonomi diatas segala-galanya.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin memaparkan besarnya manfaat dan fungsi yang dimiliki hutan mangrove. Secara umum fungsi mangrove ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu fungsi mangrove secara fisik, secara biologi dan secara ekonomi.
Secara fisik, mangrove berperan sangat penting dalam menjaga garis pantai dari abrasi, dan mampu meredam angin badai serta gelombang arus laut. Selain itu, ia juga dapat mempercepat pembentukan lahan baru dan mendaur ulang unsur-unsur hara penting. Bahkan tak jarang mangrove dijadikan ikan-ikan tertentu sebagai daerah perlindungan (spawning ground) dari ikan predator ataupun tempat ikan memisahkan maupun membesarkan anaknya.
Secara Biologi, fungsi lain dari hutan mangrove adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup di sekitar mangrove. Hal ini dikarenakan mangrove memiliki kemampuan untuk mendaur zat hara dari daun maupun rantingnya. Ia merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detrius dari proses pembusukan daun atau rantingnya. Sejumlah besar detrius inilah yang menjadikan mangrove juga sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi biota-biota yang hidup di sekitar mangrove.
Sedangkan secara ekonomi, banyaknya fungsi mangrove tersebut mendatangkan keuntungan tersendiri bagi orang-orang terutama nelayan yang hidup di sekitarnya. Terlepas dari manfaat kayunya yang mampu dijadikan arang, mangrove memiliki manfaat yang lebih tinggi lagi bagi para nelayan. Keberadaannya sebagai daerah perlindungan (spawning ground) bagi ikan-ikan dapat dimanfaatkan sebagai lahan mencari ikan oleh nelayan.
Selain itu mangrove juga mampu difungsikan sebagai penyediaan benih bagi industri perikanan. Dan dengan pesona yang dimilikinya, tak jarang mangrove juga dapat disulap menjadi kawasan pariwisita berbasis lingkungan yang tak hanya kan memberikan penghasilan lebih kepada masyarakat di sekitar mangrove, namun juga kepada daerah.
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa 'Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” hal ini berarti kekayaan alam di negeri ini memiliki status dilindungi dan pemanfaatannya dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan kepentingan generasi mendatang.
Besar harapan penulis walikota Batam dengan impiannya menjadikan Batam sebagai lokomotif perekonomian nasional tidak "menggilas" mimpi Pemerintah Provinsi Kepri yang ingin mewujudkan Kepulauan Riau yang ramah lingkungan. Sehingga ke depannya pemerintah kota Batam mampu lebih tegas lagi terhadap pihak–pihak tidak bertanggungjawab atas keberlangsungan pengrusakan hutan mangrove yang tak pernah berhenti baik atas nama industri maupun kepentingan masyarakat.***
Oleh : Nur. mahfud (nurulmahfud.blogspot.com)
(tulisan dimuat juga dalam kolom opini haluan kepri pada tanggal 09 juni 2011)
0 komentar:
Posting Komentar